BAB 6
Timor
Tengah Selatan
Hutan Naismetan,
Kec. Mollo Tengah:
Tempat Pembantaian
Menurut beberapa narasumber, korban dari berbagai
tempat di TTS dibawa untuk dibunuh di hutan ini yang terletak sekitar 20
kilometer ke arah utara dari SoE. Di hutan ini terdapat kurang lebih 16 lubang
dan masing–masing lubang ditempati lebih dari satu orang. Lubang yang digali
sendiri oleh korban juga tidak terlalu dalam sehingga ketika tim melakukan
dokumentasi, tulang-tulang tengkorak [dan tulang lain] dari korban dapat
dilihat dengan jelas. Sampai saat ini, hutan ini ditumbuhi oleh semak belukar.
Masyarakat setempat takut untuk bertani ataupun masuk hutan ini atau wilayah di
sekitarnya.
Pernyataan Salah Satu
Anggota Tim TTS
PERISTIWA 1965 DAN
PERGUMULAN IDENTITAS PEREMPUAN TTS
Dina Penpada, Ivonne Peka, dan
Anna Salukhfeto
Puji syukur patut kita panjatkan ke hadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa atas tuntunanNya sehingga segala aktifitas penelitian
Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) di wilayah Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS) dapat dilakukan sehingga hasilnya disampaikan melalui penulisan
ini. Melihat kembali catatan lapangan, transkrip dari rekaman wawancara, dan
berefleksi mengenai temuan-temuan, maka tim penelitian JPIT di TTS terfokus
pada tema Peristiwa 1965 dan Pergumulan
Identitas Perempuan TTS dengan menggambarkan kisah hidup beberapa perempuan
TTS yang mampu bertahan hidup dalam gelombang kebengisan akibat Peristiwa 1965.
Tulisan ini mengisahkan tentang bagaimana kiat-kiat hidup mereka di tengah
kelaparan hebat yang melanda Kabupaten TTS sekitar tahun 1965, peristiwa ketidakmanusiaan
yang kemudian dikenal dengan nama G30S, serta gerakan Roh Kudus dalam semangat
Kekristenan yang semuanya terjadi hampir bersamaan. Kisah para korban juga
menggambarkan bagaimana tiga kejadian ini berdampak pada identitas mereka
sebagai perempuan PNS, perempuan masyarakat adat, perempuan tani, perempuan
Kristen, isteri, dan ibu yang hidup di TTS.
Wilayah
Penelitian
Tiga wilayah di Kabupaten TTS dipilih
sebagai wilayah sasaran kegiatan penelitian, yaitu wilayah Amanuban Selatan
(Kecamatan Amanuban Selatan, Kecamatan Kualin), seputar Wilayah Kota SoE
(Kecamatan Kota SoE, Kecamatan Mollo Tengah), dan Desa Boti, Kecamatan Kie.
Wilayah Amanuban Selatan dipilih sebab menempati angka tertinggi dalam jumlah
masyarakat yang dianggap terlibat PKI, yaitu sebanyak 1213 orang.[1]
Sementara itu di seputar Kota SoE (Fafinisin, Naismetan, dan Nunumeu) ditemukan
banyak lubang yang diduga sebagai tempat penembakan para korban 1965. Juga,
sebagai pusat Kabupaten TTS, Kota SoE menjadi sentra peradilan bagi masyarakat
di seputar Amanuban Barat dan Mollo serta kecamatan-kecamatan lain. Sedangkan
Boti, yang terkenal hingga saat ini sebagai wilayah bermukimnya masyarakat yang
masih memeluk agama suku, dipandang penting untuk dijadikan sebagai wilayah
penelitian guna mengetahui bagaimana masyarakat di sana bisa bertahan di tengah
gejolak 1965 yang mengharuskan banyak orang untuk memeluk agama-agama tertentu
(tidak termasuk agama suku) jika tidak ingin dianggap sebagai anggota PKI.
Profil
Politik Kabupaten TTS sebelum 1965
Kabupaten Timor Tengah Selatan dibentuk
pada 20 Desember 1958 berdasarkan Undang-undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang
pembentukan Daerah-daerah Tingkat II dalam wilayah daerah-daerah Tingkat I
Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Wilayah Kabupaten Timor
Tengah Selatan meliputi wilayah bekas Onder
afdeeling Zuid Midden Timor (sub-bagian Timor Tengah Selatan) yang membawahi tiga swapraja, yaitu
Swapraja Mollo, Amanuban, dan Amanatun.
Pada tahun 1955 diadakan pemilu pertama di
TTS yang diikuti oleh empat partai dan hasilnya adalah Parkindo: 6 kursi; Front
Rakyat: 5 kursi; dan Partai Rakyat Nasional: 4 kursi.[2] Hasil
pemilu pertama ini tidak bertahan lama seiring dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959 yang diikuti oleh Tap. Presiden No. 6 Tahun 1959, maka jabatan Kepala
Daerah terpilih dimenangkan oleh Kusa Nope. Sedangkan sesuai Tap. Presiden No.
5 Tahun 1960, yang diumumkan tanggal 27 Maret 1960, nama DPRD diganti menjadi
DPRD-Gotong Royong (DPRD-GR) dengan menggolongkan aliran politik menjadi dua,
yakni Golongan Politik dan Golongan Karya.[3] Akibat aturan ini, maka di Kabupaten Dati II TTS juga ada perubahan
untuk menyesuaikan diri dengan aturan baru sejak Periode 1961–66, sebagai
terlihat dalam matriks yang berikut:
Golongan
Politik
Ø Parkindo
Ø Partai Katolik
Ø PNI
Ø PKI
|
Golongan
Karya
Ø Angkatan Darat
Ø OPR
Ø OKD
Ø Alim Ulama Kristen
Ø Alim Ulama Katolik
Ø Alim Ulama Islam
Ø Pemuda
Ø Wanita
Ø Tani dan Koperasi
Ø Pengusaha Nasional
|
Berdasarkan perubahan dan penggolongan ini,
maka DPRD-GR Kabupaten Dati II TTS mendapat tambahan tiga kursi menjadi 20
kursi pada tahun 1960. Partai yang mendapat tambahan satu kursi adalah Parkindo,
PKI, dan Golongan Karya dari Sub-golongan Pembangunan Material (dari BTI).
Dari keseluruhan keterangan narasumber, PKI
adalah sebuah partai politik sah di Indonesia yang mengupayakan kesejahteraan
rakyat Indonesia melalui jalur politik. Legalitas PKI juga terlihat di pemilu
tahun 1955 secara nasional ketika PKI berhasil meraih 16% suara atau menempati
urutan ke-empat partai politik di Indonesia.[4]
Sebagaimana partai politik pada umumnya,
agar bisa mendekatkan partai dengan rakyat, maka PKI juga turut melebarkan
strukturnya di semua jenjang pemerintahan di seluruh penjuru tanah air,
termasuk TTS. Untuk bisa merangkul semua lapisan masyarakat, maka dibentuklah
organisasi-organisasi pendukung yang masa kini dikenal sebagai organisasi
sayapnya partai. Pada tanggal 9 Juli 1960, PKI mendirikan cabang Barisan Tani
Indonesia (BTI) untuk para buruh tani di Kabupaten TTS; begitupula pada tanggal
14 Agustus 1960 mendirikan organisasi Pemuda Rakyat.[5] Untuk mengisi struktur tersebut, maka direkrut orang-orang yang
kemudian menjadi korban ketika PKI diserang secara sistematis. Pada umumnya, narasumber menjelaskan bahwa
para korban Peristiwa 1965 di TTS tidak begitu mengetahui apa itu PKI ataupun
BTI.
Sementara untuk mendapatkan dukungan rakyat sebagai pemilih, maka PKI bersama “organisasi sayap”nya mengembangkan program-program, yakni membagi sembako, alat-alat pertanian, dan bahan-bahan tenunan bagi perempuan-perempuan. Program-program tersebut langsung menyentuh kebutuhan masyarakat yang sedang menghadapi keterbatasan pangan karena kelaparan sehingga banyak masyarakat mudah tergiur saat didaftarkan namanya oleh PKI atau BTI untuk mendapatkan bantuan dan sembako. Semua yang menerima ataupun hanya dijanjikan alat dan bahan dianggap anggota BTI sehingga pada Peristiwa ’65, mereka dijerat ke dalam permasalahan yang berhubungan dengan PKI, yaitu dijadikan sasaran penghapusan bahaya PKI. Dapat diduga bahwa Peristiwa ‘65 yang memakan korban ribuan nyawa tidak terlepas dari persaingan antar partai politik saat itu menjelang pemilihan umum pasca Pemilu I pada tahun 1955.
Click link below to continue reading:
Read more Part 1 click here
[1] Hans Itta, ed., Timor
Tengah Selatan dalam Jangkauan Zaman (SoE: Pemerintah Daerah Kabupaten TTS, 2006),
162-71.
[2] Rufus Ony Tunliu, Kilas Balik DPRD TTS. Buku ini sementara disusun dan belum
diterbitkan. Para anggota DPRD TTS ini diangkat dengan SK Gubernur/ Koordinator
Pemerintahan Nusa Tenggara Timur No. Des. 2/1/133, tanggal 26 Mei 1959.
[3] Ibid.
[4] “Pemilu 1955” dari seri Pemilu dalam Sejarah, Komisi Pemilihan
Umum, diunduh 22 Nopember 2011,
http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_ content&task=view&id=43&Itemid=66.
[5] Rufus Tunliu, buku belum diterbitkan.